ALKISAH, dalam sebuah perjalanan seorang sahabat Rasulullah Saw melewati sebuah tempat teduh. Di dekat tempat itu ada sumber air jernih. Terbersit dalam hatinya keinginan untuk tinggal di tempat yang menyenangkan tersebut.

Ia berkata, “Alangkah nikmatnya jika aku dapat menjauhkan diri dari manusia, kemudian tinggal di tempat ini. Namun, aku tidak akan melakukannya sebelum meminta izin kepada Rasulullah Saw”.

Sahabat tersebut lantas menemui Rasulullah Saw dan mengutarakan keinginannya. Apa jawaban Rasul?

“Jangan engkau lakukan hal itu karena kedudukan orang yang berjihad di jalan Allah lebih utama daripada shalat di rumah selama tujuh puluh tahun. Tidakkah kalian menyukai jika Allah mengampuni kalian dan memasukkan kalian ke surga? Oleh karena itu, berperanglah di jalan Allah. Barangsiapa terbunuh di jalan Allah, wajib baginya masuk surga”.

Kisah singkat yang diceritakan Abu Hurairah di atas mengandung hikmah larangan uzlah dan perintah jihad. Rasulullah Saw tidak mengizinkan seseorang untuk ber-uzlah, yakni menjauhi manusia dengan menyendiri di tempat sunyi, meskipun dimaksudkan untuk beribadah. Kita dilarang untuk menghindari hiruk-pikuk kehidupan, tetapi harus bejuang di tengah-tengah masyarakat.

Kerasnya kehidupan, maraknya kemaksiatan dan kezhaliman, bukan alasan untuk ber-uzlah. Justru merupakan tantangan bagi kita untuk berjihad di jalan Allah, dengan memerangi kemaksiatan dan kezhalimanctersebut.

Dalam sabdanya Rasulullah menonjolkan keutamaan jihad. “Lebih utama daripada shalat di rumah selama 70 tahun!” sabda Rasul.

Dalam hadits lain ditegaskan, “Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar menghadapi gangguan mereka itu lebih baik daripada mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar menghadapi gangguan mereka” (H.R. Ahmad dan Tirmidzi).

Jihad lebih utama ketimbang uzlah. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, menjawab pertanyaan “Manusia manakah yang paling baik?”, Rasulullah menjawab, “Seorang yang berjihad dengan diri dan hartanya dan seorang yang tinggal di bukit terpencil beribadah kepada Rabbnya dan meninggalkan manusia karena kejahatannya”.

Sebagian ulama mendefinisikan jihad sebagai “segala bentuk usaha maksimal untuk penerapan agama Islam dan pemberantasan kezhaliman serta kejahatan, baik terhadap diri sendiri maupun dalam masyarakat.”

Ada juga yang mengartikan jihad sebagai “berjuang dengan segala pengorbanan harta dan jiwa demi menegakkan kalimat Allah (Islam) atau membela kepentingan agama dan umat Islam”.

Motivasi jihad dalam Islam antara lain tercantum dalam Q.S. at-Taubah:13-15 dan an-Nisa:75-76, yakni:

  1. Mempertahankan diri, kehormatan, dan harta dari tindakan sewenang-wenang musuh.
  2. Memberantas kezhaliman yang ditujukan pada umat Islam.
  3. Membantu orang-orang yang lemah (kaum dhu’afa).
  4. Mewujudkan keadilan dan kebenaran.

Jihad juga bermakna “perang melawan kaum kafir atau musuh-musuh Islam”. Pengertian seperti itu antara lain dikemukakan oleh Imam Syafi’i bahwa jihad adalah “memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam”. Juga, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Atsir, jihad berarti “memerangi orang Kafir dengan bersungguh-sungguh, menghabiskan daya dan tenaga dalam menghadapi mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan”.

Kewajiban jihad dalam arti khusus ini (berperang) tiba bagi umat Islam dengan syarat: jika agama dan umat Islam mendapat ancaman atau diperangi lebih dulu (Q.S. 22:39, 2:190) serta mendapat gangguan yang akan mengancam eksistensinya. Syarat lain, asalkan jihad tersebut  untuk menegakkan kebebasan beragama (Q.S. 8:39) dan hendak membela orang-orang yang tertindas (Q.S. 4:75). Wallahu a’lam.*