Infak-sedekah menjadi ukuran keimanan  dan ketakwaan seseorang (QS al-Baqarah:1-3, al-Anfal:2-4). Ajaran Islam menjelaskan, hanya Allah SWT pemilik dan penguasa seluruh harta benda.

Sekiranya ajaran tersebut benar-benar dihayati, maka akan sangat mudah bagi seseorang mempercayakan diri hanya kepada-Nya dan tentu dia akan rela dan tanpa ada beban apa pun mengeluarkan harta benda yang dititipkan Allah kepadanya. Dia akan rela membelanjakan harta benda yang ada padanya menurut arahan yang ditentukan Allah dan menyerahkan untung-ruginya kepada-Nya.

Pada suatu hari, Rasulullah Saw berpidato di hadapan kaum Muslimin guna membangkitkan semangat jihad dan berinfak. Rasul bersabda: “Berinfaklah wahai kaum Muslimin, saya hendak mengirim pasukan ke medan perang!”

Di antara jamaah waktu itu terdapat Abdurrahman bin ‘Auf. Mendengar ucapan Rasul tersebut, Abdurrahan segera pulang dan segera pula kembali ke tengah-tengah kaum Muslimin. Ia berkata, “Ya Rasulullah! Saya mempunyai uang empat ratus ribu. Dua ratus ribu aku pinjamkan untuk Allah dan yang dua ratus ribu lagi aku tinggalkan untuk keluargaku”.

Lalu Rasul mendoakannya, “Semoga Allah memberi pahala dari apa yang engkau berikan dan memberkati dari apa yang yang tersisa untuk keluargamu”.

Ketika menghadapi Perang Tabuk, yaitu perang yang terkenal sangat berat dan memerlukan dana yang besar, Abdurrahman menginfakkan hartanya sebesar dua ratus auqiyah emas. Melihat jumlah yang begitu besar, Umar bin Kustab curiga, jangan-jangan Abdurrahman tidak meninggalkan apa-apa untuk keluarganya. Umar membisikkan hal itu kepada Rasulullah.

Rasulullah Saw bertanya kepada Abdurrahman, “Adakah yang engkau tinggalkan untuk belanja istrimu?”

Abdurrahman menjawab, “Ada, ya Rasulullah,  bahkan mereka saya tinggali lebih banyak daripada yang saya infakkan”.

“Berapa dan apa itu, ya Abdurrahman?”

“Aku tinggalkan untuk keluargaku  sebanyak rezeki, kebaikan, dan pahala yang dijanjikan Allah!”

BEGITULAH Abdurrahman bin Auf memberi teladan kepada kita. Dalam jiwanya tertanam ajaran keimanan yang sangat  dalam. Ia menghayati dan meyakini betul-betul apa yang dijanjikan Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan apa saja yang baik kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi imbalan yang baik dengan cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan dianiaya” (Q.S. al-Baqarah:272).

Abdurrahman menjadi contoh sosok yang disebut oleh Allah dalam firman-Nya, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjual dirinya untuk mencari keridhaan Allah. Dan sungguh Allah sangat dekat kepada hamba-hamba-Nya yang demikian” (Q.S. al-Baqarah:207).

Ketika Abdurrahman wafat, di antara deretan sahabat yang hadir adalah Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib. Dalam sambutannya antara lain Ali berkata, “Engkau telah mendapatkan kasih sayang Allah, dan engkau berhasil menundukkan kepalsuan dunia, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepadamu.” (Hikmah).*