MENJADI “orang baik” hendaknya menjadi cita-cita dan tekad setiap Muslim. “Orang baik” dalam terminologi Islam adalah “muhsin” (jamak: muhsinin), yakni orang yang senantiasa berbuat kebaikan dan menghindari perilaku buruk atau maksiat.

Semangat “menjadi orang baik” di kalangan umat Islam, insya Allah, akan tampak pada hari-hari mendatang selama bulan Ramadhan ini. Mereka ingin berpuasa secara sempurna dengan meninggalkan ucapan kotor dan perilaku maksiat, bukan sekadar menahan diri dari lapar dan haus. Semangat saling mengingatkan pun akan tampak, misalnya ucapan “Eh, jangan ngomongin orang lho, lagi puasa…!” dan semacamnya.

Tempat-tempat hiburan yang berbau maksiat umumnya tutup selama Ramadhan. Tayangan-tayangan televisi secara drastis berubah menjadi Islami. Orang yang malas sholat tiba-tiba tergerak untuk senantiasa melakukannya. Kesucian bulan Ramadhan menciptakan suasana kondusif bagi umat Islam, baik suasana hati maupun suasana lingkungan sosial, untuk menjadi muslim yang baik.

Cahaya iman-Islam memang biasanya memancar dari setiap Muslim selama bulan Ramadhan, seiring dengan ibadah puasa yang mereka jalankan.

Kepribadian seorang Muslim yang ramah, santun, mampu mengendalikan diri, menjaga ucapan dan perbuatan kotor, biasanya tampak nyata dalam suasana Ramadhan. Itulah sebabnya puasa Ramadhan ini disebut sebagai “training” untuk menjadi muslim sejati, dengan tujuan akhir mencapai derajat takwa –melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Dengan demikian, pada bulan Ramadhan ini ada semangat penyucian atau pembersihan diri (tazkiyatun nufus).

Dalam literatur Islam, tazkiyatun nufus adalah upaya memperbaiki dan menyucikan jiwa kita melalui ilmu yang bermanfaat (ilmu syar’i) dan beramal saleh, dengan melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.

Dalam sebuah hadits disebutkan, seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah, apakah arti tazkiyatun nufus itu?”

Rasulullah menjawab, “Tazkiyatun nufus adalah jika seorang hamba mengetahui dan meyakini bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala selalu bersama dengannya, dalam arti Dia senantiasa melihat dan mengawasi segala perbuatan hamba-hamba-Nya, baik perbuatan lahir maupun batin.”

Jawaban Rasulullah itu juga semakna dengan arti ihsan dalam hadits yang lain, yakni “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya dan kalaupun engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”.

DALAM berbagai ayat Al-Quran, Allah SWT menegaskan tentang manfaat dan kebahagiaan yang akan didapat orang-orang yang melakukan pembersihan diri atau penyucian jiwa dengan iman dan amal saleh.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syamsy:9-10).

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia ingat Tuhannya lalu sembahyang” (QS. Al-A’la:14-15).

“Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman (menyucikan diri), lagi sungguh-sungguh telah beramal shalih, maka mereka itulah orang-orang yang mendapatkan tempat tinggi (mulia). (Yaitu) Surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan)” (QS. Thoha:75-76).

Salah satu kunci keberhasilan tazkiyatun nufus adalah mampu mengendalikan diri (self control) untuk tidak selalu mengikuti keinginan hawa nafsu dan ini pula hakikat puasa.

Dalam dunia tasawuf, pengendalian diri disebut mujahadah, yakni berjuang melawan, menahan, dan menundukkan hawa nafsu. Al-Quran menyatakan, nafsu selalu menyuruh kepada kejahatan atau kejelekan (QS. 12:43).

Dapat dikatakan, mujahadah atau tazkiyatun nufus itu mencakup dua hal.

Pertama, menyempurnakan amal ibadah. Artinya, berupaya beribadah sesuai dengan aturan (syarat dan rukunnya), utamanya memantapkan ruh amal ibadah itu, yakni niat ikhlas karena Allah SWT semata, membersihkannya dari dorongan nafsu ingin dipuji orang lain (riya’), atau motifnya selain karena Allah SWT. Amal ibadah yang dikotori riya’ tidak bernilai ibadah di sisi Allah SWT.

Kedua, membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Sebutan lain untuk sifat-sifat tercela dalam hati adalah “penyakit hati”.

Mujahadah berarti berjuang keras mengobati penyakit hati itu atau menghilangkannya. Penyakit-penyakit hati itu antara lain sombong (kibr), membicarakan aib atau kesalahan orang lain (namimah), membuka aib orang lain atau bergunjing (ghibah), berburuk sangka (su-udzan), dan dengki (hasad). Wallahu a’lam bish-showab.*