Ketika Rasulullah Saw akan mengimami shalat berjamaah. Sebelum bertakbir, beliau meratakan shaf (barisan) para sahabatnya sebagaimana barisan tentara.
Ketika akan mulai bertakbir, tiba-tiba ada seorang makmum yang dadanya lebih maju dari yang lainnya. Melihat hal itu, beliau bersabda:
“Hai hamba Allah, harus kamu ratakan barisan kamu atau Allah akan membuat hatimu saling berselisih” (HR Abu Dawud).
Beliau juga menyuruh para makmum untuk merapatkan barisan mereka.
“Jangan kalian biarkan ada celah renggang di tengah barisan untuk jalannya syaitan”.
Dalam riwayat lain disebutkan nabi bersumpah:
“Rapatkan barisan kamu, karena demi Allah, sesungguhnya aku melihat syaitan masuk ke sela-sela barisan shalat”.
Dengan lurus dan rapatnya barisan, seperti kata Nabi SAW, hati umat Islam akan lebur dalam perasaan nikmat karena persatuan dan kebersamaan.
Shalat berjamaah merupakan cermin kesatuan umat Islam. Ketika melaksanakan shalat, visi dan misi mereka satu, yakni penghambaan total kepada Allah Swt. dan menggapai mardhotillah.
Ketaatan kepada pemimpin pun tercermin dalam shalat berjamaah. Tidak peduli dari firqoh mana sang imam, komandonya tetap diikuti para makmum. Perbedaan firqoh, ormas, parpol, atau kepentingan duniawi, lebur dalam kesamaan visi dan misi beribadah kepada Allah Swt.
Begitulah semestinya umat Islam. Bersatu-pada dalam satu visi dan misi. Gambaran kerataan dan kerapatan shaf shalat mencerminkan setidaknya dua hal.
Pertama, dalam jamaah umat Islam tidak boleh ada orang yang merasa paling hebat atau unggul, sehingga ingin menonjol di antara jamaah. Nabi Saw menyebutkan, jika dalam barisan umat ada yang berdiri “lebih maju” ketimbang yang lain, itu akan menyebabkan perselisihan. Cukup satu orang saja, yakni imam (pemimpin) yang berdiri paling depan di antara jamaah, karena ia memegang komando.
Perselisihan di antara umat Islam kerap terjadi karena ada orang melangkah sendirian, meninggalkan barisan umat, untuk mengejar kepentingan pribadi. Ia mengesampingkan kepentingan jamaah umat Islam secara keseluruhan. Bahkan, ia membentuk gerbong sendiri untuk menunjukkan keunggulannya.
Kedua, dalam jamaah umat Islam tidak boleh ada celah sedikit pun yang memberi peluang masuknya setan ke celah itu. Jika terjadi gap di antara barisan umat, maka setan akan menggoda manusia untuk berselisih, lalu berpecah-belah.
Artinya, umat Islam harus terus merapatkan barisan, mengikat kuat-kuat tali ukhuwah Islamiyah, sehingga tidak ada peluang bagi musuh-musuh Allah untuk mengadu-domba dan memecah-belah kekuatan umat Islam.*