DALAM sebuah hadits dikatakan, “doa itu otaknya ibadah”, yakni inti ibadah. Doalah penghubung langsung antara manusia dengan Allah Swt.
Ada beberapa dasar yang bisa kita jadikan referensi soal hal itu, di antaranya dalam firman-Nya:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka berima kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS al- Baqarah [2]: 186).
Dalam ayat tersebut paling tidak ada lima prinsip berdoa yang mesti kita pahami.
Pertama, kita jangan salah di dalam berdoa. Disadari atau tidak, ternyata masih banyak praktek-praktek kesalahan itu terjadi pada sebagian saudara kita, di antaranya dengan konsep tawasul/wasilah (menggunakan perantara), padalah Allah itu sangat dekat dengan kita.
Kedua, agar doa makbul (diijabah oleh Allah Swt), maka kita harus mengubah diri kita terlebih dulu, yang semula berstatus abid menjadi orang yang berstatus ‘ibad.
Ketiga, berdoa hanya kepada Allah.
Keempat, hendaklah kita penuhi terlebih dulu apa yang menjadi kewajiban kita kepada Allah Swt.
Kelima, hendaklah kita hanya beriman kepada Allah Swt.
Jika kelima prinsip itu kita pahami betul, maka layaklah kita berharap doa kita akan terkabul.
Dari kelima prinsip di atas, tentu dapat kita pahami, orang yang berdoa itu hendaknya memiliki akhlak yang baik kepada Allah dengan meyakini hanya Allah Yang Mahakuasa untuk mengabulkan doa.
Saat seseorang berdoa dengan memiliki keyakinan seperti itulah terdapat nilai akidah. Oleh karena itu, disebutlah doa adalah inti ibadah.
Sebaliknya, jika seseorang berdoa merasa ragu di dalam hatinya, bahwa Allah tidak akan mengabulkan doanya, maka ia tergolong orang yang tidak berakhlak baik kepada Allah. Padahal, Allah berjanji akan memperkenankan doa hamba-Nya.
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam hina dina” (QS. Al-Mu’min: 60).
Dengan kita berdoa dan meminta kepada Allah, berarti sudah menunjukkan ketidaktakaburan diri kita. Diri kita betul-betul merasa sangat rendah di hadapan Allah. Inilah yang dikatakan berdoa menjadi nilai akidah.
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud dan Turmudzi, Rasulullah Saw Bersabda : “Doa itu ibadah”. Allah Swt mengingatkan sekaligus mempertanyakan kepada kita: “Atau siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati-Nya” (QS. An-Naml:62).
Demikian pula termasuk berakhlak yang baik kepada Allah bila kita berdoa tidak hanya untuk diri kita sendiri dan sebaiknya kita banyak berdoa untuk orang lain (HR. Muslim). Kalau kita mendoakan orang lain, sebenarnya kita juga sedang mendoakan diri kita sendiri.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Abu Darda. Ia mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Siapa saja seseorang yang mendoakan saudaranya sesama Muslim dalam keadaan ghaib, artinya tidak ada di depan dia, kecuali para malaikat itu, lalu (malaikat) berdoa kepada Allah Swt agar yang berdoa tadi diberikan juga seperti yang didoakan untuk saudaranya”.
Jadi, pada saat kita mendoakan saudara kita, maka pada saat yang sama malaikat pun berdoa kepada Allah untuk kita.
BERDOA merupakan bagian akhlak yang harus kita luruskan dalam kaitan akidah. Betapa urusan berdoa ini merupakan urusan yang sangat erat sekali dengan urusan akidah. Bahkan tidak sedikit mereka yang sesat akidahnya karena salah dalam konsep berdoanya. Mereka seakan-akan berdoa kepada Allah, padahal dalam prakteknya mereka berdoa kepada selain Allah, menyekutukan Allah.
Kita sudah memiliki ilmu, cita-cita Islam, sudah tahu cara-cara berdoa, sekarang bagaimana pengetahuan itu menjadi hidayah. Di kalangan sahabat Nabi Saw, hidayah itu melahirkan ilmu.
Pada suatu hari Sayidina Ali Karamallahu Wajhah, berkhutbah di hadapan kaum Muslimin. Ketika hendak mengakhiri khutbahnya, tiba-tiba berdirilah seseorang di tengah-tengah jamaah sambil berkatra, ”Ya Amirul Mu’minin, mengapa doa kami tidak diijabah? Padahal Allah berfirman dalam Al Qur’an, ”Ud’uuni astajiblakum” (Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu)?”
Sayidina Ali menjawab, ”Sesungguhnya hatimu telah berkhianat kepada Allah dengan beberapa hal, yaitu:
Pertama, engkau beriman kepada Allah, mengetahui Allah, tetapi tidak melaksanakan kewajibanmu kepada-Nya, maka tidak ada manfaatnya keimananmu itu.
Kedua, engkau mengatakan beriman kepada Rasul-Nya, tetapi engkau menentang sunnahnya dan mematikan syariatnya. Maka, apalagi buah dari keimananmu itu?
Ketiga, engkau membaca Al-Qur’an yang diturunkan melalui Rasul-Nya, tapi tidak kau amalkan.
Keempat, engkau berkata, ”Sami’na wa aththa’na” (kami mendengar dan kami patuh), tetapi kau tentang ayat-ayat-Nya. Engkau menginginkan syurga, tapi setiap waktu melakukan hal-hal yang dapat menjauhkanmu dari surga, maka mana bukti keinginanmu itu?
Kelima, Allah memerintahkanmu agar memusuhi setan seraya berkata, ”Sesungguhnya syetan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh bagi (mu) karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanya mengajak golongan supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS. Fathir, 35 : 6). Tetapi kau dekati setan dan bersahabat dengannya.
Jadi, bagaimana mungkin doa kita diterima padahal engkau telah menutup pintu dan jalan tersebut. Bertakwalah kepada Allah, salehkan amalmu, bersihkan batinmu, dan lakukan amar ’ma’ruf nahi munkar. Nanti Allah akan mengijabah doamu itu.” Wallahu a’lam. (Alhikmah).*