SEORANG sahabat Rasulullah Saw, Khaisamah, suatu malam bermimpi melihat putranya bermain dan bersuka-ria di sebuah taman indah di dalam surga.
Anak kesayangannya yang gugur di medan Perang Badar itu pun melihat sang ayah seraya berkata, ”Ayah! Ananda di sini sekarang. Rupanya janji Allah telah terlaksana dengan benar pada diri ananda. Mari Ayah, marilah ikuti ananda!”
Saat bangun, Khaisamah tersentak. Hatinya gelisah. Kemudian ia datang menghadap Rasulullah saw. Umat Islam saat itu tengah bersiap menghadapi serangan kaum kafir Quraisy di Bukit Uhud. Khaisamah memohon agar ia dimasukkan kedalam daftar pasukan Islam untuk pergi berperang ke bukit Uhud.
”Ya Rasulullah! Aku telah tua, tulangku telah mulai rapuh, dan aku ingin sekali menjumpai Tuhanku,” katanya memberi argumentasi.
“Bawalah aku serta, ya Rasulullah, dan doakan agar aku pun mendapat syuhada sebagaimana anakku dan hidup bersamanya di surga.”
Dengan rasa terharu, Rasulullah mengangkatkan tangannya, mendoakan Khaisamah agar permohonannya yang tulus dan ikhlas itu terkabul.
Maka, berperanglah Khaisamah yang telah tua renta itu dengan gagah berani hingga ia mencapai apa yang diinginkannya: mendapat syhada atau mati syahid.
MATI syahid merupakan cita-cita tertinggi umat Islam. Dalam cita-cita itu, terkandung tekad kuat untuk berjuang di jalan Allah, membela agama dan umat Islam, karena salah satu jalan menuju mati syahid adalah berjuang di jalan Allah.
Secara harfiyah, syahid (jamak: syuhada) artinya hadir, datang, atau kesaksian. Hadir di tengah perjuangan fi sabilillah, datang memenuhi panggilan jihad dan dakwah, dan Allah dan para malaikatnya menyaksikan perjuangan dan kematian seorang pejuang yang dijamin masuk surga tanpa hisab.
Menurut istilah, syahid artinya berperang atau berjuang di jalan Allah –membela kebenaran atau mempertahankan hak– dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk menegakkan agama Allah.
Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang berjuang (dan mati) karena (mempertahankan) hartanya, darahnya, agamanya, dan keluarganya, maka ia mati syahid” (HR. Bukhori-Muslim).
Hadits tersebut menjelaskan, siapa yang berjuang membela harta miliknya, jiwanya, keluarganya, agamanya, dan meninggal dalam perjuangannya itu, maka ia meninggal fi sabilillah atau mati syahid (An-Nabaa’, 3/I/1992:33). Allah Swt sendiri menyatakan:
“Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah melampaui batas karena Allah sesungguhnya tida menyukai orang-orang yang melampuai batas” (QS. 2:190).
Sebaliknya, orang yang berjuang bukan karena Allah, tidak membela yang benar (al-haq), dan tidak ikhlas, tapi karena popularitas, pujian, dan kedudukan (jabatan), maka tidak tergolong syahid.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah: “Seseorang yang berperang karena harta rampasan, seseorang yang berjuang karena ingin disebut-sebut (sebagai pahlawan), dan seseorang yang berjuang karena ingin melihat kedudukannya, maka siapa (di antara mereka) fi sabilillah?”
Rasulullah menjawab: “Siapa yang berjuang agar kalimat Allah menjadi tinggi, maka dia berjuang di jalan Allah” (HR. Bukhori).
Medan jihad bagi kaum Muslimin sangat luas. Allah memberi kesempatan di berbagai bidang bagi kaum Muslimin untuk berjuang fi sabilillah dan menggapai mati syahid. Modal perjuangannya adalah tenaga, pikiran, dan harta benda yang dimanahkan Allah SWT. Wallahu a’lam.*