DAKWAH pada generasi pertama telah menghasilkan generasi yang istimewa –yaitu generasi sahabat– dalam sejarah Islam dan sejarah manusia. Generasi semacam itu tidak lagi dihasilkan dalam sejarah Islam.

Benar ada beberapa gelintir orang dengan karakteristik seperti generasi pertama itu, namun belum pernah terjadi dalam sejarah Islam, terkumpulnya tokoh-tokoh besar semacam itu, dalam satu tempat, seperti yang terjadi pada masa pertama dari kehidupan dakwah ini.

Sumber rujukan utama generasi pertama itu adalah Al-Quran semata. Hadits Rasulullah Saw bentuk penjelas dari sumber tersebut.

Generasi Qur’ani itu membaca Al Qur’an bukan untuk sekadar ingin tahu dan sekadar membaca, juga bukan sekadar untuk merasakan dan menikmatinya.

Tidak ada seorang pun dari mereka yang mempelajari Al Quran untuk sekadar menambah pengetahuan, atau untuk menambah bobot ilmiah dan kepintaran dalam ilmu fiqh.

Mereka, Generasi Qur’ani itu, mempelajari Al Qur’an untuk menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan masalah pribadi mereka, masyarakat tempat mereka hidup, dan kehidupan yang dijalaninya bersama jama’ahnya.

Mereka menerima perintah Allah SWT itu untuk segera diamalkan setelah mendengarnya. Seperti seorang tentara dalam medan perang menerima “perintah harian”, yang langsung ia kerjakan setelah menerimanya!

Oleh karena itu, tidak ada dari mereka yang memperbanyak mempelajari Al Qur’an dalam sekali duduk, karena ia merasa bahwa dengan memperbanyak membaca perintah Allah SWT itu berarti memperbanyak pula kewajiban dan tugas yang harus ia emban. Mereka cukup membaca dan mempelajari sepuluh ayat, setiap kesempatan menelaah Al Qur’an, hingga ia menghapal dan melaksanakan isinya. Seperti diterangkan dalam hadits Ibnu Mas’ud r.a.[Seperti ditulis oleh Ibnu Katsir dalam muqaddimah kitab tafsirnya.]

Perasaan seperti dan sikap ini; yakni sikap menerima ajaran Al Quran untuk dilaksanakan perintahnya, membuat mereka, dengan membaca Al Qur’an, terbukakan gerbang kenikmatan dan ilmu pengetahuan. Hal itu tidak terjadi jika mereka membaca Al Qur’an hanya sekadar untuk meneliti, mengkaji dan membacanya.

Dengan cara membaca seperti itu, mereka menjadi termudahkan untuk mengamalkan isinya, teringankan beban tugas mereka, Al Qur’an merasuk dalam diri mereka, dan setelah itu mereka ejawantahkan dalam manhaj yang realistis dan praksis, yang tidak semata berada dalam otak atau kalimat-kalimat yang tersimpan dalam kertas. Namun menjadi wujud perubahan dan peristiwa yang merubah perjalanan hidup.

Al Qur’an tidak memberikan khazanahnya kecuali bagi orang yang menerimanya dengan semangat ini: semangat untuk mengetahui, dan kemudian menjalankannya.

Al Qur’an tidak datang untuk sekadar menjadi hiburan otak, ia bukan kitab sastra atau seni, dan bukan pula sebuah kitab kisah atau sejarah –meskipun semua itu terkandung dalam isinya– namun ia datang agar menjadi manhaj kehidupan. Manhaj Ilahi yang murni. Allah SWT menurunkan manhaj ini secara terpisah-pisah dan berangsur-angsur. Yang datang secara beriringan:

“Dan Al Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia, dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS Al Isra: 106).

Manhaj mempelajari Al Qur’an untuk dilaksanakan dan diamalkan isinya itulah yang telah menghasilkan generasi pertama Islam. Sementara manhaj mempelajari Al Qur’an semata untuk mengkaji dan menikmatinya itulah yang telah menghasilkan generasi-generasi berikutnya. (Sumber: Ma’alim fi Thariq, Sayyid Quthb, Penerbit: Daar Syuruuq).*