SYAQIQ Al-Balkhy, seorang ulama zahid, bermaksud menggeluti dunia bisnis. Ia berpamitan kepada Ibrahim bin Adham yang juga seorang ulama zahid yang sangat wara’.

Ibrahim berdoa agar Syaqiq diberkahi dalam bisnisnya, senantiasa zahid, dan melaksanakan ibadah dan dzikir. Namun, baru beberapa hari meninggalkan kampung halamannya, Syaqiq kembali. Ibrahim merasa heran dan bertanya, “Mengapa kamu kembali lagi?”

Dengan panjang lebar, Syaqiq menceritakan peristiwa yang dialaminya, sehingga ia bertekad pulang dan meninggalkan tekadnya semula.

“Kejadiannya bermula tatkala saya singgah di tengah perjalanan untuk beristirahat. Saya memasuki reruntuhan rumah untuk suatu keperluan. Di dalamnya saya melihat seekor burung yang buta lagi lumpuh, tentu saja tak mampuh bergerak, apalagi terbang. Saya merasa iba melihatnya. Kemudian saya berkata sendiri, ‘Dari mana burung malang ini bisa mendapatkan makanan di tempat ini?’ Tak lama kemudian, seekor burung lainnya membawa makanan, menyuapi burung yang buta dan lumpuh tersebut. Saya mengamatinya sampai beberapa hari. Sampai akhirnya terbesit di hati saya, ‘Sesungguhnya yang memberikan rezeki kepada burung yang buta dan lumpuh di reruntuhan ini, juga mampu memberikan rezeki kepadaku.’ Lalu saya menetapkan kembali ke kampung halaman.”

Ibrahim bin Adham berkata, “Subhanallah! Wahai Syaqiq! Mengapa engkau rela menjadikan diri sendiri sebagai burung buta dan lumpuh yang hanya bisa menunggu pertolongan dari yang lain? Mengapa engkau tidak bertekad menjadi burung yang lain yang berusaha dan berjerih payah, lalu kembali sambil membawa hasil jerih payahnya untuk disuapkan kepada burung yang buta dan hanya duduk-duduk saja? Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi Saw yang mengatakan, tangan yang di atas adalah lebih baik daripada tangan yang di bawah?”

Syaqiq bangkit menghampiri Ibrahim, lalu memeluk tangannya. Seraya berkata, “Engkau adalah guru kami, Wahai Abu Ishaq!”

Kisah di atas setidaknya mengandung hikmah tentang tiga hal. Pertama, rezeki Allah harus dicari dengan ikhtiar (bekerja). Islam tidak menghendaki umatnya berpangku tangan, menunggu uluran tangan orang lain. Kedua, umat Islam mesti berusaha menjadi pemberi, bukan penerima.

Rezeki diberikan Allah kepada orang yang bertawakal, yakni berserah diri kepada-Nya sambil berusaha. “Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberi rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan perut kosong dan kembali lagi dalam keadaan kenyang” (H.R. At-Tirmidzi). Allah SWT tidak akan menjamin kekenyangan kepada burung yang pergi, kecuali kepergiannya untuk aktif bergerak dan menyebar mencari makan. Demikian pula halnya dengan manusia.

Islam mengajarkan umatnya untuk hidup seimbang antara memenuhi kebutuhan rohani dan jasmani. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi…” (Q.S. 28:77).

“Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selama-lamanya. Dan beramallah untuk akhiratmu, seolah-olah kamu akan mati besok” (H.R. Baihaqi).

“Bukanlah orang yang paling baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang  meninggalkan akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia” (H.R. Ibnu ‘Asakir dari Anas).

Islam sangat menekankan umatnya agar bekerja, mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini dengan tangan sendiri. Adanya siang dan malam dalam alam dunia ini, merupakan isyarat akan adanya kewajiban bekerja (pada siang hari).

“Dan Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan suatu kehidupan” (Q.S. An-Naba’:11).

“Kami telah menjadikan untukmu semua di dalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan. Tetapi sedikit sekali kamu berterima kasih” (Q.S. Al-A’raf:10).

“Maka menyebarlah di bumi dan carilah rezeki dari keutamaan Allah” (Q.S. A-Jum’ah:10).

“Demi, jika seseorang di antara kamu membawa tali dan pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar, kemudian dipikul ke pasar untuk dijual, dengan bekerja itu Allah mencukupi kebutuhanmu, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain…” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Bekerja mencari rezeki untuk memberi nafkah keluarga bahkan digolongkan beramal di jalan Allah (Fi Sabilillah).

“Jika ada seseorang yang keluar dari rumah untuk bekerja guna mengusahakan kehidupan anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha di jalan Allah. Jikalau ia bekerja untuk dirinya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itu pun di jalan Allah. Tetapi jika ia bekerja untuk berpamer atau bermegah-megahan, maka itulah ‘di jalan setan’ atau karena mengikuti jalan setan” (H.R. Thabrani).

Rasulullah Saw pernah ditanya, “Pekerjaan apakah yang paling baik?”

Beliau menjawab, “Pekerjaan terbaik adalah usahanya seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik” (H.R. Ahmad, Baihaqi, dan lain-lain).

Islam tidak menginginkan umatnya melulu melakukan ibadah ritual yang sifatnya berhubungan langsung dengan Allah (hablum minallah), tetapi menginginkan umatnya juga memperhatikan urusan kebutuhan duniawinya sendiri (pangan, sandang, dan papan), jangan sampai menjadi pengangguran, peminta-minta, atau menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya kepada orang lain. Wallahu a’lam.*