“Beritakanlah kepada para pemupuk harta, yang menimbun emas dan perak, mereka akan disetrika dengan setrika api neraka, menyetrika kening dan pinggang mereka pada hari kiamat!”
Demikian “pamflet” Abu Dzar al-Ghifari, sosok sahabat masyhur, zuhud, dan mempunyai komitmen berpihak kepada orang-orang lemah dan dilemahkan (mustadh’afin).
Kata-kata tersebut diadaptasi Abu Dzar dari QS at-Taubat:34-35:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنزونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ . يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنزتُمْ لأنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنزونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih; pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi, lambung, dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka, Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kalian simpan itu.”
Abu Dzar meneriakkan kata-kata itu ketika menemui pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, tatkala melihat kekayaan telah ditimbun dan dimonopoli, serta jabatan disalahgunakan untuk memupuk dan memungut keuntungan materi, sementara cinta dunia telah meluluhlantakkan kesalehan, melelehkan kebeningan lapisan spiritual, serta merontokkan kesungguhan dan keikhlasan yang telah dicapai pada tahun-tahun kerasulan.
Ketika Abu Dzar al-Gifari berada di tengah kerumunan orang-orang miskin, sementara di seberangnya gedung-gedung mewah, istana dan mahligai tinggi, dengan mata nanar berseru:
“Saya heran melihat orang-orang yang tidak punya makanan di rumahnya, kenapa ia tidak mendatangi orang-orang itu dan menghunus pedangnya, mengokang senjatanya?”
Tetapi segera pula teringat nasihat Rasulullah Saw yang menyuruhnya memilih cara-cara damai (bi kaifiyat ar-rahmah).
Abu Dzar selalu ingat nasihat Rasulullah Saw ihwal tipu-daya dunia dan harta ini: “Ia merupkan amanat dan pada hari kiamat menyebabkan kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya secara benar, dan menunaikan kewajiban yang dipikulkan kepadanya”.
“Aku diberi wasiat oleh junjunanku (Rasulullah) dengan tujuh perkara: disuruhnya aku agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri kepada mereka. Disuruhnya aku melihat kepada orang yang di bawahku dan bukan orang yang di atasku. Disuruhnya aku agar tidak meminta sesuatu kepada orang lain. Disuruhnya aku agar menghubungkan tali silaturrahmi. Disuruhnya aku mengatakan yang hak walaupun pahit. Disuruhnya aku agar dalam menjalankan agama Allah tidak takut celaan orang. Dan disuruhnya aku agar memperbanyak bacaan: la haula wala quwwata illa billah.” (Rijal Haul ar-Rasul, Khalid Muhammad Khalid).*