Etika Utang-Piutang dalam Islam

 lutfi fathullahOleh Luthfi Fathullah

Manusia diciptakan ada yang dalam kondisi kaya, menengah, dan miskin. Yang miskin sering membutuhkan bantuan dari orang kaya dan menengah.

Bantuan tersebut sering dalam dua bentuk: dibagikan dan dipinjamkan. Yang dibagikan, Islam mengenal beberapa istilah: Hadiah, Hibah, Infak, Sedekah, Zakat dan Waqaf.

Yang dipinjamkan: Investasi (Mudhorobah, Murobahah, Musyarokah, dst.) yang ada risiko yang ditanggung. Sedangkan pinjaman seharusnya tidak ada resiko yang ditanggung.

Hukum dasar Pinjam-Meminjam adalah Boleh (Mubah). Hukum bagi yang meminjamkan : Disarankan. Mengembalikan utang (pinjaman) adalah Wajib.

Bila si peminjam (pengutang) tidak mampu membayar (mengembalikan), maka ada tiga jalan : diperpanjang waktu pengembalian, dipotong (dikurangi besarnya pinjaman), atau dimaafkan (diikhlaskan) –dikonversi sebagai sedekah.

Dalam Islam, orang yang punya utang adalah orang yang bermasalah. Islam memberikan solusi (jalan keluar) yaitu mendapat bagian zakat (sedekah) karena ia termasuk 8 Asnaf yang berhak menerima zakat (shodakoh), yaitu ia termasuk Al Ghorimin (orang yang terbelit utang).

Islam juga memberikan ancaman bagi orang yang tidak mau membayar utangnya, yaitu Neraka Jahannam. Dalam Hadits disebutkan, Rasulullah Saw tidak mau menyolati orang mati yang tidak mau membayar utangnya.

Ketika ada sahabat yang punya utang dan meninggal, Rasulullah saw  mengajak sahabat-sahabat lain untuk iuran (patungan).

Ketika uang dihitung, ternyata masih kurang untuk membayar hutangnya, maka Rasulullah saw bersabda: “Kekurangan hutangnya yang belum dibayar, aku (Rasulullah saw) yang membayar”. Maksudnya, negara yang membayar, diambilkan dari Baitul Mal.

Bila tidak ditutup dengan diambilkan dari Baitul Mal, maka di akhirat si empunya utang yang sudah meninggal itu akan dituntut dan dihisab di Alam Hisab/Perhitungan.

Bila punya piutang, meskipun hanya seribu-duaribu, tetap harus ditagih atau diperhitungkan ketika di dunia. Jangan diwariskan sampai ke anak (ahli waris). Karena banyak terjadi, si anak (ahli waris) tidak mau membayar hutang orangtua-nya, ketika ditagih oleh si empunya piutang.

Etika Berutang

1. Wajib hukumnya bagi orang yang beruutang-piutang untuk menulis (mencatat) utangnya
2. Disaksikan oleh dua orang saksi.
3. Tentukan jangka waktu pinjaman,
4. Membayar utang jika sudah jatuh tempo,
5. Berilah sedikit kelebihan dari jumlah utangnya yang tanpa disyaratkan. (Semua tersebut dalam AlQur’an Surat Al Baqarah ayat 282).
6. Dahulukan membayar utang daripada keperluan lain.
7. Takutlah akan ancaman Allah swt jika utang tidak dibayarkan.

Etika yang memberi hutang (pinjaman)

1. Berilah hutang (pinjaman) kepada orang yang meminta pinjaman, karena pahalanya lebih besar daripada sedekah.
2. Catatlah waktunya, tanggal dan tahunnya.
3. Ambil dua orang saksi,
4. Jangan disyaratkan dengan pengembalian lebih, karena itu menjadi Riba.
5. Jika tidak mampu membayar, maka perpanjang waktu pengembaliannya, atau dipotong (dikurangi) jumlah hutangnya, atau dihapus hutangnya itu dengan dikonversi sebagai sedekah.
6. Bila ingin menghapus (meng-ikhlaskan) hutang harus diikrarkan didepan si-peminjam.

Solusi Utang-Piutang

Berdo’a kepada Allah Swt agar diluaskan rezekinya. Do’a ini berasal dari Hadits Nabi Muhammad Saw:

1. Do’a agar diluaskan rezeki : Allahumma inni as-alukal huda, wathuqo, wal ‘afafa, walghina.
2. Do’a minta tidak bangkrut : Allahumma inni a’udzubika min zawali ni’matika watahauli ‘afiatika, wafuja-ati ni’matika, wajami’i sakhotika.
3. Do’a agar terhindar dari hutang : Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal hazan, wal ‘ajzi wal kasali, wal bukhli wal jubni, wadhola’iddaini, wagholabatirrijal

(Ya Allah sungguh aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, sifat kikir, sifat pengecut, lilitan hutang, dan dikuasai orang lain).

Berdasarkan do’a tersebut, ternyata utang itu sebabnya antara lain sifat pelit, pengecut, malas, lemah.

4. Do’a agar tidak punya hutang, dan hutang terbayar :

اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى، وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ وَالْفُرْقَانِ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ اْلآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ، اِقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ

Allahumma robbassamawati, warobbal ardhi, warobbakuli syai’in, faliqol habbi, wannawa, wamunzilat Taurati, wal Injili, wal Qur’ani, A’udzubika min syarri kulli syai’in, anta ahidzun bi nashiyatihi, Allahumma antal awwalu, falaisa qoblaka syai’un, wa antal akhiru falaisa ba’daka syai’un, Wa anta dhohiru, falaisa fauqoka syai’un, wa anta bathinu falaisa dunaka syai’un, Iqdhi ‘annaddaina wa aghnina minal faqri.

(Ya Allah, Rabb langit (yang tujuh) dan Rabb bumi, Rabb ‘Arsy yang agung, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu, pembelah biji serta benih, Rabb yang menurunkan Taurat, Injil dan AlQur’an,, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala yang ubun-ubunnya Engkau pegang. Ya Allah Engkau yang paling pertama tidak ada sesuatupun sebelum-Mu Engkau adalah yang paling akhir, tidak ada sesuatupun setelah-Mu, Engkau adalah yang dhohir, tidak ada sesuatupun yang mengungguli-Mu dan Engkau adalah yang bathin, tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Mu, lunasilah hutang kami dan cukupkanlah kami dari kefakiran (kemiskinan).

— Disarikan dari Pengajian Dhuha Dr. Luthfi Fathullah, MA di Masjid Baitussalam, Jum’at 16 Muharram 1439H – 16 Oktober 2017.