ALKISAH, seorang pengembara berjalan tertatih-tatih. Kelelahan tampak pada raut muka dan rambutnya yang tak teratur dan penuh debu, menandakan ia telah menempuh perjalanan jauh.
Merasa tanpa daya lagi, ia menengadahkan tangannya ke langit, berdoa untuk memohon pertolongan Allah SWT. Terucap dari mulutnya: “Ya Rabbi, Ya Rabbi!”
Namun, doa sang pengembara tersebut tidak dikabulkan Allah SWT. Mengapa? “Bagaimanakah Allah akan mengabulkan doanya, sedangkan makanan, minuman, dan pakaiannya haram,” tegas Nabi Saw.
Kisah yang digubah dari sebuah hadits riwayat Muslim, sebagaimana tercantum dalam Shahih Muslim itu, secara jelas mengabarkan, doa orang yang suka memakan makanan haram atau meminum minuman haram, dan memakai pakaian haram, ditolak oleh Allah SWT (mardud).
Pesan yang hendak disampaikan hadits di atas, tentu saja bukan semata agar kita memakan, meminum, dan memakai barang halal supaya doa kita makbul.
Doa tidak terkabul lantaran dalam diri seseorang yang berdoa itu penuh barang haram, mengisyaratkan pula betapa tidak maslahat dan hinanya barang haram jika kita makan atau pakai. Apalagi, dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda, setiap tubuh yang dibesarkan dengan cara yang haram, maka neraka lebih layak baginya.
“Makanan haram termasuk kotoran, bukan makanan yang baik,” tulis Imam Al-Ghazali dalam Kitabul Arba’in fi Ushuliddin.
Haram dikategorikan ke dalam dua macam: haram lizatihi dan haram li’ardihi. Yang pertama adalah perbuatan yang ditetapkan haram sejak semula, karena secara tegas mengandung mafsadat (kerusakan), seperti berzina, mencuri, meminum khamar, memakan daging babi, riba, dan memakan harta anak yatim (Q.S. Al-An’am:151, Al-Maidah:90 dan 96, Al-Baqarah:228, Al-Isra:32, An-Nisa:10).
Sedangkan haram jenis kedua adalah perbuatan yang pada mulanya tidak diharamkan, kemudian ditetapkan haram karena ada sebab lain yang datang dari luar. Misalnya, shalat dengan pakaian hasil tipuan atau bersedekah dengan harta hasil mencuri.
Islam menggariskan, umatnya harus selalu mengkonsumsi barang halalan thayiba (halal lagi baik). Yang harus mendapat perhatian lebih serius adalah “cara” mendapatkan barang halal tersebut. Karena, barang haram –seperti daging babi– umumnya umat Islam menghindarinya. Namun tentang “cara”, banyak umat yang mungkin tidak mempedulikan halal-haramnya. Padahal, barang halal pun jika didapat dengan cara haram, seperti pencurian, penipuan, korupsi, suap, dan sebagainya, maka barang itu pun haram dikonsumsi.
Karena itulah, di akhirat nanti, ihwal menyangkut harta kekayaan akan dimintai pertanggungjawabannya dari berbagai arah: dari mana didapatkan, bagaimana mendapatkannya, dan digunakan untuk apa? Jika harta didapat dari sumber halal, cara halal, namun penggunaannya melanggar aturan Allah, atau digunakan di jalan selain-Nya, maka keharaman jatuh atas penggunaan. Jika sumber halal, penggunaan halal, namun cara mendapatkannya tidak halal, maka haram jatuh atas cara mendapatkan harta tersebut. Begitu seterusnya.
Demikianlah, kehati-hatian kita dalam mendapatkan harta atau makanan, diperlukan mutlak. Agar darah-daging kita terhindar dari barang haram.
Kehalalan sumber, cara, dan penggunaan harus selalu dijaga, agar rezeki yang kita dapatkan mengandung berkah dan menyelamatkan kita dunia-akhirat. Wallahu a’lam.*