Ibrahim bin Adham rahimahullah dikenal sebagai seorang yang wara’. Ia menyadari betul pentingnya halal dan haram dalam urusan makananan dan minuman, tentunya juga urusan lainnya, ia tidak akan memakan makanan kecuali makanan yang sudah jelas-jelas halal saja.

Dikisahkan, suatu ketika Ibrahim bin Adham berbelanja kurma di Bashrah, Irak. Dibawanya kurma tersebut ke Yerusalem, Palestina.

Setibanya di Yerusalem, alangkah kagetnya ia ketika mengetahui bahwa ada satu biji kurma yang terbawa tidak dengan sengaja ke dalam timbangan yang sudah dibelinya.

Karena ke-wara’-annya, ia pun kembali dari Yerusalem  (Palestina) ke Basrah, yang jaraknya ratusan kilometer, hanya untuk mengembalikan sebiji kurma yang tidak sengaja terbawa oleh beliau ketika ditimbang itu.

Bagi seorang yang wara’, sebiji kurma tadi bukanlah perkara kecil. Kurma tadi termasuk makanan yang belum jelas halal-haramnya (syubhat). Sikap yang paling aman terhadap hal yang syubhat adalah meninggalkannya atau mengabaikannya.

Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap suatu perkara yang syubhat, utamanya dalam hal mencari dan mempergunakan rezeki karena takut terjerumus ke dalam keharaman.

Jadi, seorang Muslim yang memiliki sifat wara’, akan menjauhkan diri dari masalah-masalah yang syubhat, apalagi yang sudah jelas-jelas keharamannya (pasti akan dijauhinya).

Allah SWT memang memerintahkan kita untuk memakan makanan yang halal dan baik-baik saja. “Makanlah dari makanan yang baik-baik!” (Q.S. al-Mu’minun:51).

Sikap wara’ menentukan “nasib” amal kebajikan kita. Akan berkurang nilainya, bahkan sia-sia, amal saleh kita jika tidak dibarengi sikap wara’.

Nabi Saw menegaskan, “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat di Baitul Maqdis yang terus-menerus menyeru setiap malam, ‘Barangsiapa memakan yang haram, maka tidak akan diterima ibadah sunatnya dan fardhunya’.”

Mengacu pada hadits tersebut, Abdullah bin Umar –seperti dikutip Imam al-Ghazali dalam Kitabul Arba’in fi Ushuliddin— memperkuat:

“Andaikata kamu shalat hingga seperti lengkuk dan puasa hingga kurus seperti senar, maka Allah tidak akan menerima dari shalat dan puasamu itu hingga kamu bersikap amat wara’.”

Tingkatan ke-wara’-an dalam agama, menurut Imam al-Ghazali, ada empat, yaitu:

Pertama, wara’ yang dapat menjamin dirinya terhindar dari kefasikan, dan bisa menghapus keadilan jika wara’ itu hilang.

Kedua, tingkatan wara’ orang-orang saleh, yaitu menghindari hal-hal yang lebih mirip perkara yang diharamkan agama, sekalipun oleh sebagian ulama hal tersebut dibolehkan. Sikap ini sesuai hadits Nabi Saw, “Tinggalkan yang meragukan Anda kepada yang tidak meragukan Anda!”

Ketiga, tingatan wara’ orang-orang yang yakin. Nabi Saw bersabda,

“Seseorang tidak akan mencapai derajat takwa, sehingga bersedia meninggalkan yang tidak buruk karena khawatir terjerumus pada yang buruk”. Umar bin Khattab berkata, “Kami terbiasa meninggalkan sembilan dari sepuluh harta yang halal, karena khawatir terjerumus kepada harta yang haram”.

Keempat, tingkatan wara’ dari orang-orang yang jujur (shiddiqin), yaitu menghindari segala hal yang sekiranya tidak akan bermanfaat untuk upaya taat kepada Allah SWT, karena terkadang faktor-faktornya bisa menjerumus pada kemaksiatan. Wallahu a’lam.*