I’TIKAF (اعتكاف‎) berasal dari bahasa Arab akafa yang berarti menetap, mengurung diri, atau terhalangi. I’tikaf merupakan salah satu jenis ibadaha sunah khas bulan Ramadhan.

Sebagaimana dilakukan Rasulullah Saw, setiap Muslim disarankan untuk i’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadan untuk mendekatkan diri dan memohon ampun kepada Allah SWT, termasuk untuk mendapatkan malam qadar (lailatul qodr).

I’tikaf dilakukan dengan cara berdiam diri di masjid. Selama berada di masjid, dianjurkan untuk berdzirkir, membaca Al-Quran, salat sunah, mendengarkan tausiyah, atau melakukan ibadah lain.

Rasulullah Saw melakukan iktikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan. Beliau melakukannya sejak datang di Madinah sampai beliau wafat. Kemudian istri Rasulullah melakukan iktikaf setelah beliau wafat. (HR. Muslim)

Muhammad Sayid Sabiq dalam kitabnya, Fiqih Sunnah, menyebutkan syarat sah orang yang beriktikaf di antaranya muslim, suci, baligh, dan merdeka.

I’tikaf bisa dilakukan mulai kapan pun, baik pagi maupun malam hari. I’tikaf dimulai saat seseorang masuk ke dalam masjid dan berakhir setelah keluar tanpa ada keperluan penting.

Para ulama sepakat seorang mu’takif (orang yang beriktikaf) harus tetap berada di dalam masjid. Dia tidak boleh keluar dari masjid kecuali beberapa alasan, seperti melaksanakan salat jumat, buang hajat, mandi, serta keadaan darurat seperti gempa bumi atau bangunan masjid runtuh.

Masjid yang baik untuk i’tikaf sebaiknya adalah masjid besar atau masjid yang biasa dipakai shalat Jumat.

“Makan-minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai datang malam. Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu i’tikaf dalam masjid. Itu larangan Allah. Maka jangan kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.” (QS Albaqarah:187).*