PASUKAN Raja Thalut dikenal sebagai pasukan yang gagah berani jika berhadapan dengan musuh (Q.S. 2:249). Mereka adalah pasukan yang kuat tekadnya untuk berjuang bersama-sama membela kebenaran. Suatu ketika, dalam sebuah perjalanan berat menuju medan perang, mereka melalui sebuah sungai yang airnya jernih.
Sebelum menyeberangi sungai, Thalut berpesan kepada pasukannya agar jangan meminum air sungai itu kecuali seteguk saja. Sebagian anggota pasukan mematuhi perintah tersebut. Sebagian lainnya mengabaikannya dengan minum sepuas-puasnya hingga kekenyangan.
“Kelompok pembangkang” itu pun enggan enggan meneruskan perjalanan ke medan perang karena kekenyangan. Daya juangnya melemah.
Kisah di atas menyampaikan pesan, setiap orang akan mendapatkan ujian berupa kebaikan dan keburukan, kesenangan dan kesusahan.
Yang dialami pasukan Thalut di atas adalah ujian kebaikan atau kesenangan, yakni tersedianya air jernih di tengah perjalanan berat dan melelahkan. Anggota pasukan diminta menahan diri untuk tidak berpuas-puas menikmati air sungai yang jernih.
Ujian berupa kenikmatan lebih berat ketimbang ujian keburukan. Kenikmatan seperti limpahan harta, pangkat tinggi, atau kedudukan terhomat, sering membuat orang lupa diri, terlena, sehingga tidak bersyukur kepada Allah SWT dan menuruti hawa nafsu duniawi.
Ujian berupa musibah atau kesusahan relatif lebih mudah dilalui. Maka, tidak heran jika Abu Bakar Ash-Shidiq berkata: “Bersyukur saat mendapat nikmat lebih utama dari pada bersabar saat mendapat musibah”.
Pada zaman Rasulullah ada orang bernama Tsa’labah Al-Anshari. Ia sangat miskin, namun taat beribadah. Kain untuk shalat pun dipakai bergiliran dengan istrinya. Suatu saat dia memohon kepada Rasulullah agar didoakan menjadi orang kaya.
“Apa kamu nanti tak akan jadi budak harta?” tanya Rasul. Tsa’labah bersumpah, ia akan tetap rajin beribadah meski banyak harta. Setiap memohon kepada Rasul, jawaban Rasul pada Tsa’labah tetap seperti di atas. Tetapi Tsa’labah tetap bersumpah dan ngotot minta didokan menjadi orang kaya.
Akhirnya, berkat doa Rasulullah yang maqbul, Tsa’labah mulai memperoleh kemudahan-kemudahan dalam mendapatkan kekayaan. Kambingnya pun ratusan, demikian juga untanya. Karena sibuk mengurusi kekayaannya, ia menjadi agak lalai terhadap kewajiban shalat. Bahkan kemudian berani meninggalkannya.
Ketika diminta agar mengeluarkan zakat, ia berkata persis seperti yang diungkapkan Qarun saat Nabi Musa menyuruhnya berinfak: “Sesungguhnya apa yang aku miliki saat ini hanyalah atas ilmu yang ada padaku” (Q.S. 28:78).
Qarun dan Tsa’labah sama-sama berawal dari seorang miskin yang rajin beribadah lalu menjadi kaya raya setelah didoakan rasul-rasul mereka. Wallahu a’lam.*