SEORANG syekh mempunyai seorang murid yang ia sayangi lebih dari muridnya yang lain. Suatu hari, sang syekh memberi masing-masing muridnya seekor unggas, seraya memerintahkan mereka untuk pergi dan membunuhnya di suatu tempat tersembunyi yang tidak ada seorang pun bisa melihat mereka.
Setiap murid kemudian membunuh unggasnya di tempat yang tersembunyi dan membawa kembali ke hadapan syekh, kecuali murid yang disayanginya itu. Berbeda dengan yang lain, ia membawa kembali unggasnya dalam keadaan hidup, seraya berkata, “Saya tidak bisa menemukan tempat (tersembunyi) seperti itu, karena Allah selalu melihat saya di mana-mana”.
Sang syekh pun berkata di depan para muridnya, “Sekarang kalian tahu tingkatan anak muda ini. Ia telah mencapai tingkat dzikrullah (selalu mengingat Allah)”.
Kisah yang dikutip Imam Al-Ghazali dalam The Alchemy of Happiness (Kimia Kebahagiaan, 1979) tersebut menunjukkan, dzikrullah atau ingat pada Allah SWT sangat mempengaruhi perilaku seseorang. Dengan dzikrullah, seseorang akan selalu sadar akan penglihatan dan pengawasan-Nya sehingga ia tidak berani melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-Nya (berbuat dosa atau maksiat).
Kisah serupa dan bahkan lebih populer mengenai contoh dzikrullah adalah ketika Khalifah Umar bin Khattab menguji seorang anak penggembala domba. Umar meminta agar anak itu menjual seekor dombanya, dan tidak usah takut pada majikannya karena ia tidak akan tahu. Anak itu menolak seraya berkata, “Memang ia (majikanku) tidak akan tahu, tapi Allah mengetahuinya”. Versi lain menyebutkan, anak itu berkata, “Lalu di mana Allah (fa ‘ainallah)?”.
Jelaslah, dzikrullah akan membuat seseorang terkendali perilakunya, yaitu dengan kendali garis ketentuan Allah berupa perintah dan larangan-Nya. Ia pun akan merasa malu pada-Nya, sehingga tercegah untuk berbuat yang dapat membuat-Nya murka dan sebaliknya selalu berupaya melakukan amal saleh.
Dengan dzikrullah kita akan menyadari, betapa Allah Mahatahu apa yang kita lakukan, baik dalam hati (tersembunyi) maupun yang terang-terangan. “Katakanlah, meskipun kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu ataupun kamu perlihatkan, pati diketahui juga oleh Allah. Dia mengetahui apa yang ada di langit maupun di bumi…” (Q.S. 3:29).
Orang yang selalu dzikrullah di mana saja ia berada, dalam keadaan sendiri ataupun bersama orang lain, dan dalam kondisi apa saja, akan mendapat perlindungan-Nya. Sabda Nabi Saw, “Orang yang bangun di pagi hari hanya dengan Allah di dalam pikirannya, maka Allah akan menjaganya di dunia ini dan di akhirat”.
Orang yang selalu dzikrullah, yang membuatnya tercegah dari perbuatan dosa, juga akan mendapat balasan surga. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, “Surga itu bagi orang-orang yang sempat berkeinginan untuk mengerjakan dosa, tapi kemudian ingat bahwa Aku selalu mengawasi mereka dan mereka menahan diri karenanya.”
Dzikrullah merupakan aktivitas hati dan pikiran, berupa ingat dan sadar akan adanya pengawasan Allah, yang kemudian berpengaruh pada amal perbuatan. Dzikrullah merupakan buah dari keimanan yang sebenar-benarnya, juga merupakan aktivitas mereka yang menjadikan Rasulullah Saw sebagai suri teladan dalam hidupnya.
“Sesunggunya pada diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi mereka yang mengharapkan rahmat Allah dan hari akhirat dan yang banyak mengingat Allah.” (Q.S. 33:21)
Allah SWT memerintahkan setiap mukmin untuk sebanyak-banyaknya melakukan dzikrullah. Dia juga mengingatkan agar jangan sampai harta dan anak-anak yang kita miliki menjadikan kita lupa pada-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah selalu pada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya…” (Q.S. 33:41)
“Janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah. Siapa yang berbuat demikian, maka mereka termasuk orang-orang yang rugi” (Q.S. 63:9).
Dapat dibayangkan, betapa damainya dunia dan makmurnya kehidupan jika dzikrullah membudaya di kalangan umat. Karena dzikrullah akan dapat mencegah terjadinya praktek-praktek korupsi, manipulasi, penipuan, pemalsuan, kolusi, penyelewengan wewenang, penyalahgunaan jabata, dan bentuk munkarat lainnya. Disiplin pun akan tegak, karena yang melakukan “waskat” (pengawasan melekat)-nya adalah Allah SWT. Wallahu a’lam.