Pernahkah kita merasa puas dengan harta yang sudah kita dapatkan? Rasanya tidak ada puasnya kalau membicarakan harta.
Setiap orang tidak akan merasa puas dengan harta yang dimiliki. Akan terus melihat ke atas dan orang lain. Dirinya akan merasa kurang dan terus kurang terhadap harta yang dimiliki.
Cobalah belajar kepada ketiga orang yang senantiasa bisa mengendalikan nafsu materi, kekayaan, dan duniawinya ini.
Pertama, kita bisa belajar dari Abdurrahman bin Auf, yang merupakan teladan dalam hidup yang sederhana. Meski Abdurrahman bin Auf ini adalah saudara kaya, namun harta tidak pernah membutakan mata hatinya. Walaupun hartanya datang dan pergi tidak pernah berhenti.
Suatu waktu Abdurrahman mendapat keuntungan yang banyak dari hasil perniagaannya, di lain waktu ia menyumbangkannya untuk syiar Islam. Tidak main-main, sumbangan Abdurahman bisa mencapai 40 ribu dinar, bahkan pernah merelakan seluruh kekayaannya.
Ia juga giat menyumbang untuk setiap peperangan sebesar 500 ekor kuda tempur, senjata, pakaian dan makanan, serta 500 unta untuk membawa konvoi perbekalan. Namun dari sekian hartanya yang disumbangkan untuk kepentingan penyebaran ajaran Islam itu, tidak sedikit pun hartanya berkurang, justru sebaliknya malah kian bertambah.
Teladan lainnya yang senantiasa memanfaatkan hartanya untuk kebaikan orang lain ialah Talah bin Ubaidah yang memiliki perniagaan tersebar di banyak tempat.
Dalam sehari, untuk satu tempat, keuntungan yang diperoleh bisa mencapai 1000 dinar. Ia juga memiliki banyak ladang di Madinah. Namun demikian, ia tidak terbiasa memegang uang. Hatinya gusar jika ada banyak uang di rumahnya. Suatu ketika ia menjual sebidang tanah berharga 700.000 dirham. Malamnya ia sulit tidur, ia pun memutuskan untuk membagikan uang tersebut kepada fakir miskin.
Teladan yang ketika kita bisa berkaca kepada Salman al Farisi, yang mempertahankan dirinya untuk tetap hidup sederhana di tengah kemampuannya untuk menikmati kekayaannya yang berlimpah karena seorang gubernur Basrah dengan gaji dari negara sebesar 5000 dinar.
Gaji yang besar itu bukan dipakai untuk meningkatkan kepuasan sebagaimana para pejabat pada umumnya. Salman justru tetap dengan gaya hidupnya sebelum jadi gubernur. Adapun gajinya ia sumbangkan untuk baitul mal.
Masih banyak bukti lainnya, bahwa hidup bermewah-mewah dari harta yang kita miliki bukanlah sesuatu yang baik dan bermanfaat untuk kita. Baik kita orang yang berada dengan harta berlimpah di mana-mana.
Jangan merasa sayang dan ingin memanjakan diri dari jerih payah sendiri dari sekian puluh tahun bekerja menumpuk harta. Apalagi kita memaksakan diri untuk hidup bermewah-mewah agar kelihatan sama orang lain, bahwa kita termasuk kalangan orang kaya yang biasa hidup jet setnya.
Semua itu sama sekali tidak baik. Itu sama juga dengan perbuatan setan yang senantiasa menghambur-hamburkan materi demi kenikmatan duniawi yang sesaat sekaligus menyesatkan. Sesungguhnya masih banyak cara lain dalam memanfaatkan harta kita, dibanding menghamburkannya seolah-olah hidup itu untuk hari itu.
Tidak diingat bahwa hidup itu begitu panjang. Meskipun kita besok lusa meninggal, tetapi ada anak, saudara, dan keluarga kita yang pastinya membutuhkan demi kebutuhan hidup yang lebih penting ketimbang poya-poya.
Selama bertahun-tahun kita memandang harta sebagai sesuatu yang mampu membeli kebahagiaan. Tidak salah memang, karena moral seperti itulah yang tertanam dalam mayoritas manusia selama berabad-abad.
Di masyarakat ada anggapan bahwa dengan memiliki rumah gedong, mobil mewah dan segala sesuatu bisa terbeli dan mudah mendapatkannya, itulah impian yang sesungguhnya. Apakah seperti itu yang dinamakan kebahagiaan? Ternyata bukan itu. Buktinya masih ada juga orang yang tergolong mapan dan kaya raya tetapi mereka tetap bersedih, galau, gelisah, dan tidak bisa menikmati kelimpahan hartanya.
Memang kalau kita melihat pada hukum ekonomi, maka hampir setiap orang berpandangan bahwa kebahagiaan itu sama dengan banyaknya jumlah uang yang dikumpulkan.
Pandangan ini, secara tidak langsung akan merusak moral dalam meningkatkan ekonomi, yang ada bagaimana mencapai titik kepuasan, apa pun caranya. Sehingga tidaklah aneh kalau banyak orang yang mencari jalan pintas agar cepat kaya, seperti korupsi, jual narkoba, dan usaha-usaha negatif lainnya yang penting uang cepat ngalir ke rumah. Padahal suatu waktu harta yang kita miliki itu akan ditanya dari manal asalnya, bagaimana cara mendapatkannya, dan untuk apa saja harta kita itu.
Islam tidak melarang kita menjadi orang kaya, justru menghendaki kita untuk sukses secara materi. Karena pada hakekatnya seluruh harta di muka bumi ini, mutlak milik Allah, manusia hanya berhak mengelola sekaligus memanfaatkannya sebagai sarana dalam menjalankan peran khalifah di muka bumi.
Karena dengan memiliki harta, kita dapat menegakkan shalat, menunaikan puasa ramadhan, membayar zakat, memberi pakaian yang baik untuk keluarga, memberi pendidikan yang baik untuk keluarga, serta melaksanakan ibadah haji dengan baik dan benar.
Kita boleh mengumpulkan harta untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi tidak untuk bermewah-mewah melampaui batas. Agama memerintahkan kita untuk mempersiapkan harta kita untuk esok, untuk disimpan sebagai persiapan bila ada kebutuhan atau pengeluaran yang tidak terduga.
Ini pula yang sering kali dilupakan oleh kita, ketika mendapatkan harta jangan hari itu juga habis, tetapi bagaimana diatur sedemikian rupa agar harta itu cukup untuk memenuhi kebutuhan kita.
Dan yang terpenting kita jangan sampai dijajah oleh harta, tetapi bagaimana halnya seperti doanya Ibn Khattab, agar Allah senantiasa meletakkan harta sekadar di tangannya, bukan di hatinya.
Karena kalau harta di tangan itu berarti kita tidak akan keberatan kalau harta itu dikeluarkan untuk membantu orang lain. Berbeda kalau harta itu di hati, akan terasa berat kalau peruntukan harta tidak demi kepentingan pribadi. (Cahayaqu).*