SUATU hari seorang nabi berjalan melewati sebuah batu kecil yang memancarkan air. Batu itu membuatnya kagum. Kemudian Allah SWT menjadikan batu itu berbicara kepadanya,
“Ketika aku mendengarkan Allah SWT berfirman, ‘Takutlah neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu’ (Q.S. at-Tahrim:6), aku pun menangis karena rakut”.
Sang nabi lalu berdoa agar Allah melindungi batu itu dari api nereka. Allah pun mewahyukan kepadanya, “Aku telah menyelamatkannya dari api neraka.”
Sang nabi meneruskan perjalanannya. Ketika kembali melewati batu itu, ia melihat air menyembur darinya seperti sebelumnya. Yang membuatnya heran, Allah menjadikan batu itu bisa bicara kembali. Ia bertanya, “Mengapa engkau masih menangis, sedangkan Allah telah mengabulkan keinginanmu?”
“Sebelumnya adalah tangis takut dan sedih, sekarang adalah tangis syukur dan gembira,” jawab batu mantap penuh keriangan.
Kisah sufistik yang ditulis Imam al-Qusyairi dalam induk buku tasawufnya Risalatul Qusyariyah tersebut, mengandung ajaran tentang bersyukur. Secara tidak langusng, al-Qusyairi mengemas parodi yang menohok kesadaran kita: logikanya, batu saja bisa bersyukur apalagi kita yang telah dianugerahi nikmat melimpah.
“Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah itu, pasti kamu tidak akan sanggup menghitungnya” (Q.S. Ibrahim:34).
Sayangnya, ketika kita dianugerahi nikmat, sikap syukur sering kita abaikan. Q.S. Yusuf:38 menegaskan, “Kebanyakan manusia tidak bersyukur”.
Padahal, dengan bersyukur kepada Allah, sesungguhnya kita bersyukur untuk diri sendiri (Q.S. Luqman:15), di samping nikmat itu pun akan bertambah (Q.S. Ibrahim:7). Bagi Allah, andaikata manusia tidak bersyukur (kufr), Dia tidak kan merugi (Q.S. an-Naml:40), karena manfaat bersyukur tidak sedikit pun kembali kepada-Nya.
Allah menyifati dzat-Nya dengan Syakiran ‘Alima (Q.S. al-Baqoroh:158), sebagai sebentuk pelajaran kepada manusia agar mereka mewarisi sifat-sifat-Nya, dalam hal ini pandai bersyukur. Takhallaqu bi akhlaqillah (berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah), demikian sabda Nabi saw. Nabi sendiri adalah sosok yang telah total membumikan akhlak Tuhan (al-Quran), termasuk pandai bersyukur.
Diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la, dari Khabbab, dari Atho’, ia berkata, “Aku bersama Ubaid mengunjungi Aisyah dan bertanya kepadanya, ‘Ceritakanlah kepada kami sesuatu yang mengagumkan dari Rasulullah?’ Beliau menangis dan bertanya, ‘Adakah yang beliau lakukan yang tidak mengagumkan? Suatu malam beliau datang kepadaku dan kami tidur hingga tubuh beliau bersentuhan dengan tubuhku. Setelah beberapa saat beliau berkata, ‘Wahai putra Abu Bakar, izinkanlah aku bangun untuk beribadah kepada Tuhanku!’ Setelah aku mengizinkan, beliau bangun, pergi berwudhu lalu shalat. Beliau mulai menangis hingga air matanya membasahi dadanya. Beliau ruku dan terus menangis, lalu sujud dan terus menangis, lalu mengangkat kepala dan terus menangis. Terus-menerus beliau dalam keadaan demikian sampai Bilal datang dan memanggil beliau untuk shalat shubuh. Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah yang menyebabkan Anda menangis, ya Rasul, sedangkan Allah telah mengampuni dosa-dosamu, baik yang dahulu maupun yang akan datang?’ Beliau menjawab: ‘Tidakkah aku senang menjadi seorang hamba yang bersyukur?'”
Dengan bersyukur, baik syukur lewat hati dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat itu semata-mata anugerah Allah, syukur melalu lisan dengan menghadirkan pujian yang ditujukan kepada-Nya, maupun syukur perbuatan dengan menggunakan kenikmatan-kenikmatan sesuai dengan tujuan pemberi-Nya dan merasa takut untuk menggunakan dalam jalur maksiat, maka kita pun telah keluar sebagai pemenang sejati dalam pergulatan hidup ini (QS. al-Isra:17).
Sebaliknya, manakala kufr (tidak bersyukut) yang mendominasi perilaku kita, maka hakikatnya kita adalah pecundang dalam pergulatan hidup ini yang pada gilirannya akan membawa dampak bagi kerugian diri –pada titik tertentu bahkan merugikan orang lain– baik sekarang “di sini” ataupun kelak “di sana” (QS. al-Isra:18). Wallahu a’lam. (Hikmah).*