TIGA hari berturut-turut, seorang laki-laki masuk ke masjid dengan pakaian yang sama dan adegan serupa. Tampak dari mukanya bekas air wudhu yang masih bercucuran. Di antara para sahabat tidak ada yang mengenalinya: siapa namanya, dan dari mana tempat tinggalnya. Yang jelas, ia adalah seseorang dari kalangan Anshor.
Selama tiga hari itu pula, Rasulullah Saw meminta kepada para sahabatnya agar memperhatikan orang tersebut. Tiap kali orang itu mau masuk masjid, sebelum dia tampak, Rasulullah memberitahukan kepada para sahabat,
“Sekarang akan tampak bagi kamu seorang laki-laki dari ahli surga”. Tidak lama setelah itu, muncullah laki-laki itu dan masuk masjid. Salah seorang sahabat, Abdullah bin Amr, merasa belum puas jika hanya mendengar ucapan Rasul dan melihat wajah orang tersebut. Ia ingin tahu siapa orang itu, apa keistimewaannya, bagaimana kedudukannya, dan bagaimana cara hidup serta peribadahannya. Ia bertekad membuntuti laki-laki itu, agar lebih jelas baginya apa keistimewaan laki-laki itu sehingga Nabi Saw menaruh perhatian kepadanya.
Abdullah berterus terang meminta izin untuk bertamu di rumah orang tersebut selama tiga hari. Akhirnya ia diterima dengan senang hati, dihormati dengan cara yang wajar, penuh kesederhanaan, dan tidak berlebihan. Selama bertamu, ia senantiasa meneliti amal tuan rumah, gerak-geriknya, tutur katanya, dan cara ibadahnya, hampir-hampir ia tidak tidur karena takut kalau ada amal tuan rumah yang tidak dapat disaksikan.
Namun, Abdullah tidak mendapatkan amal tuan rumah yang istimewa. Amalannya biasa-biasa saja, tidak ada yang menonjol dibanding dengan sahabat-sahabat lainnya, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan Rasulullah Saw.
Waktu bertamu habis. Abdullah telah bertamu selama tiga hari dan waktunya pamit. Tetapi ia belum puas karena belum melihat amal tuan rumah yang istimewa. Sebelum pamit, maka berterus-teranglah bahwa ia bertamu itu bukan semata-mata bertamu, akan tetapi ingin tahu apa sebenarnya yang dapat meningkatkan derajat tuan rumah. “Ibadah atau amal apakah yang Saudara lakukan sehingga Rasulullah Saw menaruh perhatian kepada Saudara?” tanya Abdullah. Tuan rumah menjawab dengan ringkas, “Tidak ada, kecuali apa yang engkau telah lihat”.
Dengan jawaban itu, Abdullah belum merasa tenteram. Ia pulang dengan hati yang masih bertanya-tanya. Ketika Abdullah pamit, tuan rumah itu memanggilnya dan berkata: “Tidak ada selain yang engkau telah lihat, hanya saja aku belum pernah melakukan kepalsuan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam. Dan saya tidak pernah hasad (iri hati) kepada seseorang yang dianugerahi (nikmat) oleh Allah SWT”. Maka Abdullah berkata, “Itulah yang dapat meningkatkan derajatmu”.
Surga (jannah) adalah nama tempat di Alam Akhirat yang penuh kenikmatan. Semua orang berhak menjadi ahli surga (ahlul jannah) jika mereka beriman dan beramal saleh.
“Dan sampaikanlah berita kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya…” (Q.S. 2:20)
Rasulullah Saw bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga kecuali yang tidak mau”. Ditanyakan siapa yang tidak mau itu, Rasul menjawab, “Siapa yang menaatiku masuk surga dan siapa yang maksiat kepadaku sungguh ia tidak mau masuk surga” (H.R. At-Tirmidzi).
Dalam kisah di atas, profil ahli surga digambarkan sebagai seorang yang beriman dan beramal saleh. Ada satu pesan khusus dalam kisah tersebut, yakni dua sifat yang tidak mungkin ada pada diri ahli surga, yakni kepalsuan dan hasad. Ahli surga selalu berkata jujur dan tidak pernah iri hati kepada nikmat yang diperoleh orang lain.
“Hindarilah hasad, karena sesungguhnya hasad itu menghapus semua amal kebaikan sebagaimana api melahap kayu bakar” (H.R. Abu Daud).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (jujur) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban). Wallahu a’lam.*